Minggu, 08 November 2015

CAHAYA-CAHAYA MAKRIFAT



MACAM-MACAM CAHAYA BATIN YANG MENGGODA
“Ada cahaya yang menyingkap jejak-jejak-Nya dan ada cahaya yang menyingkap sifat-sifat-Nya.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa ada cahaya yang menyingkap keadaan makhluk-makhluk sehingga ia menyinari ahwal (keadaan spiritual) para hamba dan menyinari yang ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq (para ahli hakikat).

Ada pula cahaya yang menyingkap sifat-sifat Allah dan keindahan-Nya. Cahaya ini tak akan terlihat, kecuali para orang-orang yang darinya tampak sifat-sifat Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yang dicari oleh para muhaqqiq.

Syekh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya menyingkap dzat-Nya,” karena penampakkan dzat Allah yang murni dan bersih dari sifat-sifat masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikan. Sebagian yang lain membenarkan kemungkinannya.

Syekh Muhyiddin Ibn Arabi menyebut penampakkan dzat Allah yang murni ini dengan bawariq (kilat), karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.”

Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam mengatakan: “Boleh jadi kalbu terhenti pada cahaya-cahaya, sebagaimana terhijabnya kalbu oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.”

Menurut Syekh Abdullah Asy-Syarqawi, boleh jadi kalbu kita tertutup oleh cahaya-cahaya dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah, sebagimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah SWT.

Hijab yang menghalangi dari Allah itu ada dua macam:
Pertama, hijab yang bersumber dari cahaya, yakni ilmu dan pengetahuan. Jika hati terhenti padanya, maka ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud. Kedua, hijab yang bersumber dari kegelapan, yakni nafsu syahwat dan kebiasaanya. Ia digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan, karena tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

MARI BELAJAR MAKRIFAT



WUSHUL (SAMPAI) KEPADA ALLAH MENURUT SYEKH IBNU ATHA’ILLAH
“Wushul (sampai) kepada Allah adalah sampaimu kepada pengetahuan tentang-Nya, karena mustahil Allah disentuh atau menyentuh sesuatu.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa sampainya kita kepada Allah, seperti diisyaratkan oleh ahli tarekat, adalah sampainya kita kepada penyaksian-Nya dengan mata batin kita. Inilah yang disebut dengan penyaksian langsung atau ‘ilmul-yaqiin terhadap tajalli (penampakan) Allah dan limpahan kasih sayang-Nya.

Penyaksian ini juga disebut sebagai perkenalan langsung dengan mata batin dan perasaan fitrah. Para ahli syuhud berbeda-beda dalam mendapatkannya. Ada yang mendapatkan tajalli perbuatan Allah. Disini, perbuatan mereka dan perbuatan selain mereka sirna melebur dalam perbuatan Allah. Mereka tidak melihat sosok pelaku sebuah perbuatan, kecuali Allah. Pada kondisi ini, mereka akan keluar dari ikhtiar dan usaha. Ini adalah tingkatan pertama sampainya seseorang kepada Allah (wushul).

Ada pula yang mendapatkan tajalli sifat-sifat Allah. Disini mereka akan berdiri penuh pengagungan dan kerinduan terhadap apa yang dilihat oleh mata batin mereka, berupa keagungan dan keindahan Allah. Ini adalah tingkatan kedua sampainya seseorang kepada Allah.

Di antara mereka ada yang sampai kepada maqam kefanaan. Batinnya berisi cahaya keyakinan dan musyahadah. Ketika syuhud, ia tidak lagi merasakan wujud dirinya. Ini adalah tajalli dzat yang berlaku pada kaum khusus dan orang-orang muqarrabin. Ini adalah tingkatan ketiga dalam wushul.

Di atasnya lagi ada tingkatan haqqul yaqiin. Di dunia, tingkatan ini terjadi dalam bentuk lamh (pandangan sekilas), yaitu mengalirnya cahaya musyahadah di sekujur tubuh seorang hamba sampai ruhnya pun turut mendapatkannya, demikian pula kalbu dan jiwa-nya. Ini adalah tingkatan tertinggi wushul.

Dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif disebutkan, “Jika segala hakikat telah diraih, seorang hamba dengan ahwalnya yang mulia ini akan mengetahui bahwa dirinya masih berada di tingkat pertama. Lalu, bagaimana dengan wushul haqiqi (wushul secara fisik)? Mustahil, karena  jalan wushul tidak akan pernah terputus selamanya, sepanjang usia akhirat yang abadi. Lantas, bagaimana mungkin wushul haqiqi itu terjadi di umur dunia yang pendek ini?

Jadi, yang dimaksud dengan wushul adalah sampainya kita kepada pengetahuan tentang Allah dengan media perasaan dan fitrah. Jika pengertiannya tidak demikian, berarti wushul kita tidak benar, karena Allah tidak mungkin menyentuh atau disentuh sesuatu secara lahir dan batin. Bagaimana mungkin Dzat yang tidak ada bandingnya akan bersentuhan dengan sesuatu yang memiliki bandingan. Padahal, syarat terjadinya persentuhan adalah adanya kesamaan sifat di antara keduanya. Sedangkan, secara mutlak tak ada kesamaan antara Dzat Yang Maha Sempurna dengan sesuatu yang tidak sempurna atau kurang sempurna.
Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam juga mengatakan: “Kedekatanmu dengan-Nya adalah ketka engkau menyaksikan-Nya mendekatimu, karena bagaimana mungkin engkau bisa mendekati-Nya?”

Menurut Syekh Syarqawi, kedekatan kita kepada-Nya adalah ketika kita menyaksikan-Nya secara maknawi sehingga engkau merasa sangat diawasi oleh-Nya. Buahnya adalah, engkau akan terdorong untuk selalu bersikap sopan saat ada di hadirat-Nya. Jadi, hal yang penting di sini adalah bagaimana engkau menyaksikan kedekatan-Nya. Dengan penyaksian ini, kau merasa diawasi dan dikuasai oleh rasa takut yang akan mendorongmu untuk bersikap sopan saat bertamu kepada-Nya. Inilah pengertian kedekatan seorang hamba dengan Allah; dan tidak mungkin makhluk dapat mendekati-Nya secara nyata.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi