Oleh Halim Ambiya
Alkisah. Istri Pak Ngadiman, yang bernama Paijem meninggal dunia. Pak
Ngadiman sangat mencintainya. Begitu pula anaknya, Gayatri, dia pun
sangat sayang dan merindukannya. Lebih dari 5 tahun, Paijem meninggalkan
mereka.
Rumah yang kini mereka diami masih sama seperti yang dulu,
meski sedikit ada perbaikan. Tata ruang, kursi, meja, lemari dan kasur,
masih pada posisi ketika Paijem masih hidup. Pak Ngadiman dan Gayatri tak mau mengubah sembarangan.
Di suatu pagi, Gayatri mengganti taplak meja yang terkena tumpahan kopi
dengan taplak meja ibunya yang disimpan di lemari. Taplak meja dengan
warna keemasan dengan renda-renda cantik itu sangat sesuai dengan tata
ruang di rumah Pak Ngadiman.
Sejurus kemudian, Pak Ngadiman keluar
dari kamarnya untuk meminum kopi yang disuguhkan Gayatri. Ketika,
tiba-tiba begitu dia melihat taplak meja dan secangkir kopi hitam di
atasnya, Pak Ngadiman spontan berteriak.
“PAIJEM...”
“PAIJEM...”
“PAIJEM...”
Gubrakkkk....Pak Ngadiman pingsan dan jatuh tersungkur, menabrak meja dan kursi di depannya. Secangkir kopi pun tumpah.
“Bapak!!! Kenapa?! Kenapa?!” teriak Gayatri.
“Kenapa bisa begini?” tanyanya lagi.
Gayatri yang sudah cukup besar, segera memanggil saudara dan tetangga.
Akhirnya, Pak Ngadiman pun diangkat beramai-ramai ke kamar. Dan, hanya
dalam hitungan 30 menit, Pak Ngadiman pun mulai sadar.
“Kenapa, pingsan Pak?” tanya Gayatri.
“Hehehe. Aku ketemu Ibumu tadi,” jawab Pak Ngadiman.
“Dimana?”
“Itu di ruang tamu?”
“Sebelah mana?”
“Duduk di kursi”
“Ah, Bapak nih. Hanya gara-gara melihat taplak meja kesukaan Ibu?”
“Hehehe. Iya...”
“Aku juga kangen Pak. Makanya, aku ganti taplak mejanya. Tapi, aku nggak bisa lihat Ibu.”
“Hehehe. Itulah bedanya, aku dan kamu, anakku.”
--Terinspirasi dari ceramah guruku, KH Zezen ZA Bazul Asyhab tentang
analogi makrifat dzat, yang dikiaskan pada taplak meja Neng Iis. Terima
kasih, Guru.
Salam...Halim Ambiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar