Apakah di dunia mungkin Allah dapat dilihat? Apakah
Allah hanya dapat dilihat nanti di akhirat? Apakah mungkin dapat menyaksikan
Tuhan, pencipta dan penguasa alam semesta ini? Jika memang bisa, bagaimana
melakukannya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti sering
muncul bagi para pencari Tuhan yang baru memulai melakukan tafakur. Ada semacam
kebimbangan saat memulai perenungan. Apalagi jika merujuk pada ayat dan hadis
yang masih belum dapat dipahami.
Padahal sebenarnya, setiap ruh manusia itu pernah
menyaksikan dan bersaksi tentang ketuhanan. Yakni, terjadi pada alam arwah,
dimana mereka telah mengaku dan berjanji untuk tunduk dan patuh terhadap Allah,
mau menyembah-Nya, menjalankan perintahnya-Nya dan menjauhi larangannya. Ketika
Allah bertanya, “alastu birabbikum? (Apakah Aku Tuhanmu), lalu kita mengatakan,
“Bala syahidna” (Ya, kami bersaksi). Ini adalah Perjanjian Primordial manusia
sebagai hamba di depan Rabb.
Namun, dalam perjalannya, saat manusia dilahirkan,
manusia lupa dan lalai. Karena itu, Allah mengutus Nabi dan Rasul, serta
menurunkan wahyu agar manusia dapat kembali di jalan-Nya dan mengingat kembali
Perjanjian Primordialnya.
Mereka yang terbuka mata hatinya, sebenarnya selalu
menyaksikan Allah setiap saat. Menyaksikan keberadaan-Nya di alam ini. Mereka
juga mampu mengingat jalan kembali kepada-Nya, tempat semua ruh akan kembali.
Tetapi, karena manusia dibutakan oleh sifat-sifat rendah kemanusiaannya
sehingga merasa bahwa Allah tak tampak, tertutup, tersembunyi dan tak dapat
dirasakan keberadaanya.
Dalam kitab Sirrul Asrar, Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani pernah menjelaskan hal semacam ini. Menurutnya, “Penyebab kebutaan
kalbu adalah karena adanya hijab-hijab yang gelap (al-hujub azh-zhulmaniyah),
lalai dan lupa karena jauhnya diri dari menepati janji pada Allah saat di Alam
Arwah. Adapun sebabnya lalai adalah kebodohan seseorang terhadap masalah
hakikat Ilahiah.
Kebodohan ini timbul karena kalbu dikuasai oleh
sifat-sifat tercela, seperti sombong, dendam, dengki, kikir, ‘ujub, ghibah
(mengumpat), namimah (mengadu domba), bohong dan sifat-sifat tercela
lainnya. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan manusia jatuh ke derajat yang
paling rendah.
Allah SWT berfirman, “Dan siapa yang buta
(hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta pula dan
lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 72). Adapun
yang dimaksudkan dengan buta di dunia adalah buta hati, sebagaimana firman
Allah SWT, “Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, ialah hati yang
di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Adapun cara menghilangkan sifat-sifat yang tercela
tersebut adalah dengan membersihkan cermin kalbu dengan alat pembersih tauhid,
ilmu dan amal; serta berjuang dengan sekuat tenaga, baik lahir maupun batin.
Semua itu akan menghasilkan hidupnya kalbu dengan cahaya tauhid dan
sifat-sifatnya.
Jika seorang manusia telah berhasil menghidupkan
kalbunya, maka ia akan ingat pada Negeri Asalnya (Alam Lahut). Setelah ingat ia
akan rindu pulang dan ingin sampai ke negerinya yang hakiki. Maka, ia akan
sampai dengan pertolongan Allah.
Selanjutnya, setelah penghalang kegelapan (tabir)
tadi hilang, maka yang tersisa adalah penghalang-penghalang atau tabir cahaya
(al-hujub an-nuraniah). Dan, pada saat itu ia sudah bashirah, ia yang
mampu melihat dengan penglihatan ruh dan menerima cahaya dari cahaya Asma
Ash-Shifat (nama-nama sifat). Secara bertahap, penghalang-penghalang cahaya itu
akan sirna dengan sendirinya dan dia akan diterangi dengan cahaya Dzat.”
--Dirujuk
dari kitab Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terjmh
KH Zezen ZA Bazul Asyhab, wakil talqin Tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN)
Suralaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar